wawasanpendidikan.com -
Sejarah bukanlah sesuatu yang asing bagi kita. Namun demikian, masih
banyak orang yang belum mengetahui apa sebenarnya sejarah itu? Karenanya
artikel ini berisi Pengertian Ruang Lingkup Ilmu Sejarah, selamat membaca.
Pengertian Sejarah
1.Pengertian sejarah ditinjau dari asal kata
Menurut Jan Romein, kata “sejarah” memiliki arti yang sama dengan
kata “history” (Inggris), “geschichte” (Jerman) dan “geschiedenis”
(Belanda), semuanya mengandung arti yang sama, yaitu cerita tentang
kejadian atau peristiwa yang terjadi pada masa lampau.
Sementara menurut sejarawan William H. Frederick, kata sejarah diserap
dari bahasa Arab, “syajaratun” yang berarti “pohon” atau “keturunan”
atau “asal-usul” yang kemudian berkembang dalam bahasa Melayu
“syajarah”. Dalam bahasa Indonesia menjadi “sejarah”. Menurutnya kata
syajarah atau sejarah dimaksudkan sebagai gambaran silsilah atau
keturunan.
Berdasarkan asal kata tersebut maka sejarah dapat diartikan sebagai sesuatu yang telah terjadi pada waktu lampau dalam kehidupan umat manusia.
Sejarah tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia dan bahkan
berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia dari tingkat
yang sederhana ke tingkat yang lebih maju atau modern.
2.Rumusan batasan pengertian sejarah
Ada banyak rumusan pendapat yang diberikan para sejarawan terkait
dengan pengertian sejarah. Dari berbagai pendapat yang ada dalam arti
yang luas sejarah dapat diartikan sebagai gambaran tentang
peristiwa-peristiwa atau kejadian masa lampau yang dialami manusia,
disusun secara ilmiah, meliputi urutan waktu tertentu, diberi tafsiran
dan analisa kritis sehingga mudah dimengerti dan dipahami.
Ruang Lingkup Studi Sejarah
1. Sejarah sebagai peristiwa
Berarti suatu kejadian di masa lampau, atau sesuatu yang sudah
terjadi, dan hanya sekali terjadi (einmalig), tidak bisa diulang.
Peristiwa yang bersifat absolute dan objektif.
Peristiwa-peristiwa yang telah terjadi sejak masa lampau menjadi
materi yang sangat penting dalam pembahasan ilmu sejarah. Melalui
peristiwa-peristiwa itu, ilmu sejarah mendapat gambaran tentang
kehidupan manusia dimasa lampau dan sebab akibatnya. Namun, setiap
peristiwa atau kejadian-kejadian di dalam lingkup kehidupan manusia
belum tentu akan tercatat dalam catatan sejarah. Para ahli sejarah tidak
begitu saja mencatat rangkaian peristiwa-peristiwa yang telah terjadi
dimasa lampau itu, tetapi juga mencoba menelusuri awal mula dan
sebab-sebab munculnya peristiwa itu. Dengan demikian mereka berusaha
mengembangkan pembahasan peristiwa itu sampai kepada sektor kehidupan
manusia yang mendorong terjadinya peristiwa itu.
2. Sejarah sebagai cerita
Berbicara tentang sejarah, biasanya akan segera menghubungkannya
dengan cerita, yaitu cerita tentang pengalaman-pengalaman manusia di
waktu yang lampau. Bahwasanya sejarah pada hakekatnya adalah sebuah
cerita kiranya tidak bisa disangkal lagi. Ucapan teoritikus-teoritikus
sejarah seperti Renier: “nothing but a story”; Trevelyan: “the
historian’s first duty is to tell the story”; Huizinga: “the story of
something that has happened”, semuanya mencerminkan gagasan bahwa
sejarah itu hakekatnya adalah tidak lain sebagai suatu bentuk cerita.
Kendati begitu, hal yang perlu sekali disadari adalah kenyataan
bahwa sebagai cerita, sejarah bukanlah sembarang cerita. Cerita sejarah
tidaklah sama dengan dongeng ataupun novel. Ia adalah cerita yang
didasarkan pada fakta-fakta dan disusun dengan metode yang khusus yang
bermula dari pencarian dan penemuan jejak-jejak sejarah, mengujji
jejak-jejak tersebut dengan metode kritik yang ketat (kritik sejarah)
dan diteruskan dengan interpretasi fakta-fakta untuk akhirnya disusun
dengan cara-cara tertentu pula menjadi sebuah cerita yang menarik
tentang pengalaman masa lampau manusia itu.
3. Sejarah sebagai ilmu
Sejarah dapat digolongkan sebagai ilmu apabila ia memiliki
syarat-syarat dari suatu ilmu pengetahuan atau syarat-syarat ilmiah.
Syarat-syarat keilmuan yang dimaksud adalah:
- Ada objek masalahnya
- Memiliki metode
- Tersusun secara sistematis
- Menggunakan pemikiran yang rasional
- Memiliki kebenaran yang objektif
Karena sejarah memiliki kesemua syarat keilmuan tersebut, termasuk
memiliki metode sendiri dalam memecahkan masalah, maka tidak ragu lagi
akan unsur-unsur keilmuan dari sejarah. Pendapat ahli sejarah Bury bahwa
“history is a science, no less and no more” kiranya memberikan
penegasan akan hal itu. Meski demikian dalam kenyataannya banyak pihak
yang masih menyangsikan keberadaan sejarah sebagai sebuah disiplin ilmu.
Dilihat dari cara kerja ilmiah, dua tahapan terakhir dalam metode
sejarah yaitu interpretasi dan historiografi masih sering dianggap
sebagai titik-titik lemah. Interpretasi misalnya, dimana di dalamnya
terdapat unsur menyeleksi fakta sehingga sesuai dengan keseluruhan yang
hendak disusun, terkadang unsur subjektivitas penulis atau sejarawan
seperti kecenderungan pribadinya (personal bias), prasangka kelompoknya
(group prejudice), teori-teori interpretasi historis yang saling
bertentangan (conflicting theories of historical interpretation) dan
pandangan hidupnya sangat mempengaruhi terhadap proses interpretasi
tersebut.
Semuanya itu bisa membawa sejarawan pada sikap subjektif yang
dalam bentuknya yang ekstrim menjurus pada sikap emosional, bahkan
mungkin irasional yang kurang bisa dipertanggung jawabkan seperti
kecenderungan mengorbankan fakta sejarah atau memanipulasikannya demi
suatu teori, pandangan hidup yang dipercayai secara berlebihan atau
keberpihakan pada penguasa. Memang sulit untuk menghindar dari
subjektivitas, sehingga sejarawan sangat dituntut untuk melakukan
penelitian sejarah yang seobjektif mungkin atau setidaknya sebagai suatu
ideal. Pokoknya yang penting bagi sejarawan adalah seperti yang pernah
dikemukakan G. J. Renier, “we must not cheat”.
4. Sejarah sebagai seni
Sejarawan tidak bisa sembarangan menghadirkan peristiwa sejarah
sebagai kisah sejarah. Kisah sejarawan akan memiliki daya tarik
tersendiri apabila sejarawan memiliki intuisi, imajinatif, emosi dan
gaya bahasa yang baik. Intuisi diperlukan oleh sejarawan saat memilih
topik hingga merangkai seluruh fakta menjadi sebuah kisah. Imajinatif
sejarawan digunakan untuk menyususun fakta-fakta sejarah yang berhasil
ditemukan agar menjadi utuh dan bulat sehingga mudah dipahami. Kontruksi
atau gambaran sejarawan tentang sebuah peristiwa jelas tidak bisa sama
persis dengan peristiwa yang sebenarnya sehingga sejarawan membutuhkan
imajinatif untuk merangkai fakata-fakta sejarah yang sudah tersedia.
Oleh Karena itu, sejarawan memiliki emosi untuk menyatukan perasaan
dengan objeknya agar para pembaca seolah-olah terlibat langsung dengan
suatu peristiwa sejarah. Akhirnya, seluruh pengisahan sejarah harus
didukung dengan penggunaan gaya bahasa yang lugas dan hidup.
5. Beda sejarah dengan fiksi, ilmu sosial dan ilmu agama
1. Kaidah pertama: sejarah itu fakta
Perbedaan pokok antara sejarah dengan fiksi adalah bahwa sejarah itu
menyuguhkan fakta, sedangkan fiksi menyuguhkan khayalan, imajinasi atau
fantasi.
2. Kaidah kedua: sejarah itu diakronik, ideografis dan unik
- Sejarah itu diakronik (menekankan proses), sedangkan ilmu sosial itu sinkronik (menekankan struktur). Artinya sejarah itu memanjang dalam waktu, sedangkan ilmu sosial meluas dalam ruang. Sejarah akan membicarakan satu peristiwa tertentu dengan tempat tertentu, dari waktu A sampai waktu B. Sejarah berupaya melihat segala sesuatu dari sudut rentang waktu. Contoh: Perkembangan Sarekat Islam di Solo, 1911-1920; Terjadinya Perang Diponegaro, 1925-1930; Revolusi Fisik di Indonesia, 1945-1949; Gerakan Zionisme 1897-1948 dan sebagainya
- Sejarah itu ideografis, artinya melukiskan, menggambarkan, memaparkan, atau menceritakan saja. Ilmu sosial itu nomotetis artinya berusaha mengemukakan hukum-hukum. Misalnya sama-sama menulis tentang revolusi, sejarah dianggap berhasil bila ia dapat melukiskan sebuah revolusi secara menditil hingga hal-hal yang kecil. Sebaliknya ilmu sosial akan menyelidiki revolusi-revolusi dan berusaha mencari hukum-hukum yang umum berlaku dalam semua revolusi
- Sejarah itu unik sedang ilmu sosial itu generik. Penelitian sejarah akan mencari hal-hal yang unik, khas, hanya berlaku pada sesuatu, di situ (di tempat itu dan waktu itu). Sejarah menulis hal-hal yang tunggal dan hanya sekali terjadi. Topik-topik sejarah misalnya Revolusi Indonesia, Revolusi di Surabaya, Revolusi di Pesantren “X”, Revolusi di Desa atau Kota “Y”. Revolusi Indonesia tidak terjadi di tempat lain dan hanya terjadi sekali pada waktu itu, tidak terulang lagi. Sedang topik-topik ilmu sosial misalnya Sosiologi Revolusi, Masyarakat Desa, Daerah Perkotaan yang hanya menerangkan hukum-hukum umum terjadinya proses tersebut.
3. Kaidah ketiga: sejarah itu empiris
Inilah antara lain yang membedakan antara sejarah dengan ilmu agama.
Sejarah itu empiris, ia berdasarkan pengalaman manusia yang sebenarnya,
sedang ilmu agama itu lebih bersifat normatif, mengikuti kaidah-kaidah
hukum yang sudah ada, yang tercantum dalam Kitab Suci masing-masing
agama, yang dipercaya sebagai yang diwahyukan oleh Tuhan.
Sumber :
http://www.wawasanpendidikan.com/
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Berkomentarlah Dengan Bahasa yang Baik dan Benar